BREAKING NEWS

Posisi Hak Adat Orang Asli Papua Dalam Konteks Otonomi Khusus

Ilustrasi. (Sumber fhoto : Google/PN)
Apakah Perdasus No. 23 Tahun 2008 tentang hak ulayat (hak adat orang asli Papua atas tanah) sudah jelas mendudukkan posisi mereka dalam pembangunan sektoral (misalnya kehutanan) di Tanah Papua? Berikut ini adalah saduran dari makalahnya Maria Rita Roewiastoeti,SH berjudul “Posisi Hak Adat Orang Papua Dalam Konteks Otonomi Khusus” dalam kesempatan Seminar dan Lokakarya tentang Kebijakan Pembangunan Kehutanan, Hak-hak Masyarakat Adat dan Partisipasi Masyarakat Sipil yang diselenggarakan oleh Koalisi LSM Lokal, Nasional dan Internasional di Billy Jaya Hotel, Manokwari, Papua Barat (3-4/2/2012. Koalisi LSM termaksud terdiri dari: JASOIL, PUSAKA, FOKER, KAMUKI, WALHI, GREENPEACE dan SAWIT WATCH.

Oleh Pietsau Amafnini

Kalau kita membaca ulang Perdasus Papua 2008:23, di situ kita dapat memahami bahwa banyak kejanggalan yang justru membingungkan. Peraturan Daerah Khusus (perdasus) sebagai aturan turunan dari UU Otsus Papua semestinya mengacu pada UU Otsus tersebut. Tetapi kenyataan bahwa: pertama, pasal-pasal Perdasus 2008:23 terbukti menguraikan, membuat definisi baru, mengubah status hak dan merugikan kepentingan orang pribumi Papua melampaui apa yang dirumuskan dalam UU acuannya. Fakta ini sudah cukup untuk menggugat Perdasus 2008:23 ke PTUN (pengadilan tata usaha negara) karena bertentangan juga dengan undang-undang acuannya, yakni UU Otsus 2001:21. Kedua, legislator 2001 salah memahami konsep “masyarakat hukum adat” (MHA) dan menyimpang dari rumusan UUD 1945 juncto UUA 1960:5. Dalam UU Otsus 2001:21 dikatakan bahwa “masyarakat hukum adat” (MHA) adalah warga masyarakat asli. MHA termaksud adalah orang (anggota/warga) suatu komunitas. Padahal “masyarakat hukum adat” (MHA) merupakan konsep “pemerintahan tradisional” yang (bisa jadi) dikenal dalam kebudayaan-kebudayaan setempat. Oleh sebab itu perihal MHA diatur dalam bab VI UUD tentang Pemerintahan Daerah. Senada dengan itu konsep MHA oleh legislator 1960 diadopsi dari hasil penelitian Van Vollenhoven (1925). Yang dimaksud MHA disini adalah lingkungan-lingkungan hukum adat (adat rechtkringen) di wilayah jajahan Hindia Belanda (Nederland Indie) yang pada masa itu berjumlah 19 (sembilan belas) sesuai dengan jumlah wilayah administrasi pemerintahan. Menurut hasil penelitian tersebut hampir semua rechtkringen di Hindia Belanda mengenal apa yang namanya hak ulayat (beschikkingsrecht) kecuali di Ngada (salah satu tempat di pulau Flores/NTT). Dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak semua tempat di Nusantara ini mengenal konsep hak ulayat (beschikkingsrecht).

Perdasus Papua 2008:23 hanya bisa dipahami (dengan kritis) bilamana disandingkan dengan UU Otonomi Khusus Papua 2001:21. UU Otsus 21/2001 secara tegas mewajibkan pemerintah provinsi Papua untuk mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat orang asli Papua. Hal ini termuat pada pasal 43(1): “Pemerintah provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku”. Pendefinisian tentang siapa komunitas termaksud dalam UU 2001:21 tersebut juga mengubah status hak dan merugikan kepentingan orang pribumi (asli) Papua melampaui apa yang dirumuskan dalam UU acuannya, termasuk konstitusi negara. UU 2001:21 Pasal 1(p): “masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.” Selanjutnya pasal 43(2): “hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat (MHA) dan hak perorangan warga MHA yang bersangkutan.”

Sedangkan tentang Hak Ulayat (hak adat), kalau kita sandingkan UU 2001:21 dengan Perdasus 2008:23, nampak seolah-olah identitas komunitas dan hak adatnya atas tanah hanya bisa diakui kalau ada pengakuan dari Gubernur (kepala daerah/pemerintahan) Daerah Papua. Legislator justru menempatkan pemerintah sebagai seakan-akan pemilik yang sebenarnya atas wilayah Tanah Papua, sehingga komunitas masyarakat adat setempat (orang asli Papua) yang sudah ada jauh sebelum lahirnya UUD 1945, UU Agraria 1960 dan UU Otsus 2001 itu sebagai seolah-olah pendatang baru yang membutuhkan pengakuan dan penempatan di suatu wilayah. UU 2001:21 pasal 1(s): “Hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh MHA tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Persandingannya adalah Perdasus 2008:23 pasal 7: “Tanah ulayat yang sudah diakui oleh Gubernur akan diukur batas-batasnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan peta hasil pengukuran dicatatkan dalam daftar-daftar tanah dan menjadi acuan dalam pemberian hak oleh BPN.” Kejanggalan juga dapat terbaca pada UU 2001:21 pasal 1(r): “Masyarakat hukum adat (MHA) adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya”; yang disandingkan dengan Perdasus 2008:23 pasal 8(1): “Setelah ada keputusan pengakuan oleh Gubernur, MHA yang bersangkutan berwenang: Mengelola tanah hak ulayat sesuai hukum adat setempat; Melakukan musyawarah dengan pihak luar yang memerlukan tanah tersebut untuk berbagai kepentingan; Menyerahkan sebagian atau seluruh tanah ulayat kepada warga untuk dikuasai oleh masing-masing warga sebagai hak perorangan.”


Kejanggalan lainnya tentang hak ulayat terdapat pada UU 2001:21 pasal 43(3): “Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat MHA yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan”; Perdasus 2008:23 pasal 8(2): “Pengelolaan hak ulayat MHA tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”, pasal 8(3): “Setelah bermusyawarah dengan pemegang hak ulayat, pihak yang memerlukan tanah harus mendapatkan izin lokasi dari pemerintah daerah setempat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”, pasal 9: “Kewenangan pengelolaan dalam pasal 8 tidak berlaku terhadap tanah-tanah ulayat yang sudah dilepaskan kepada pihak lain sebelum Perdasus ini dan dikuasai dengan suatu hak sesuai peraturan perundang-undangan”. Kalau mencermati yang terakhir ini, justru melegitimasi kawasan-kawasan lahan (tanah dan hutan) yang telah dikuasakan oleh pemerintah atas nama kepentingan pembangunan negara seperti kawasan-kawasan hutan konservasi, kawasan konsesi pertambangan, kawasan konsesi HPH (IUPHHK), kawasan HGU Perkebunan Sawit dan kawasan permukiman transmigrasi nasional yang sudah habis membagi-bagi wilayah Tanah Papua seperti “kue”.

Lantas bagaimana dengan penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan pasca pemberlakuan Perdasus 2008:23 dalam kerangka Otsus 2001:21 tersebut? Pengaturannya ditegaskan dalam UU 2001:21 pasal 43(4): “Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga MHA untuk keperluan apapun dilakukan melalui musyawarah dengan MHA dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya”. Aturan mainnya sebagaimana dijabarkan dalam Perdasus 2008:23 pasal 10(1): “Dalam hal sebagian atau seluruh tanah hak ulayat dilepaskan sebagaimana pasal 8(3) maka tanah tersebut dilepaskan kepada Negara sehingga menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh Negara”; pasal 10(2): “Hak ulayat yang dilepaskan kepada Negara oleh BPN tersebut diberikan kepada pihak lain dengan suatu hak berdasarkan permohonan sesuai peraturan perundang-undangan”; pasal 10(3): “Permohonan hak itu harus dilakukan oleh pihak yang memerlukan tanah selambat-lambatnya 12 bulan sejak pelepasan hak ulayat kepada Negara”; pasal 10(4): “Tindakan pelepasan hak ulayat itu berarti melepaskan juga semua bangunan, tanaman keras dan SDA di atasnya”; dan pasal 13(1): “Pemegang hak ulayat berkewajiban melepaskan tanah tersebut yang diperlukan pemerintah/pemerintah daerah untuk kepentingan umum dengan ganti kerugian atas faktor fisik dan non-fisik.

Dengan mengacu pada konteks persandingan Perdasus 2008:23 dengan UU 2001:21 dan UUD 1945, maka banyak kejanggalan yang sekiranya bisa mengarah ke kewenangan PTUN. Pertama, pasal2 PerDasus 2008:23 terbukti menguraikan, membuat definisi baru, mengubah status hak dan merugikan kepentingan orang pribumi Papua melampaui apa yang dirumuskan dalam UU acuannya. Fakta ini sudah cukup untuk menggugat PerDaSus 2008:23 ke PTUN (pengadilan tata usaha negara) karena bertentangan dengan undang-undang acuannya, yakni UU OtSus 2001:21. Kedua, legislator 2001 salah memahami konsep “masyarakat hukum adat” (MHA) dan menyimpang dari rumusan UUD 1945 juncto UUA 1960:5. Dalam UU OtSus 2001:21 dikatakan bahwa “masyarakat hukum adat” (MHA) adalah warga masyarakat asli Papua. MHA adalah orang (anggota/warga suatu komunitas). Padahal “masyarakat hukum adat” (MHA) merupakan konsep “pemerintahan tradisional” yang (bisa jadi) dikenal dalam kebudayaan setempat. Oleh sebab itu perihal MHA diatur dalam bab VI UUD tentang Pemerintahan Daerah. Senada dengan itu konsep MHA oleh legislator 1960 diadopsi dari hasil penelitian Van Vollenhoven (1925). Yang dimaksud MHA disini adalah lingkungan2 hukum adat (adat rechtkringen) di wilayah jajahan Hindia Belanda (Nederland Indie) yang pada masa itu berjumlah 19 (sembilan belas) sesuai dengan jumlah wilayah administrasi pemerintahan. Menurut hasil penelitian tersebut hampir semua rechtkringen di Hindia Belanda mengenal apa yang namanya hak ulayat (beschikkingsrecht) kecuali di Ngada (salah satu tempat di pulau Flores). Dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak semua tempat di Nusantara ini mengenal konsep hak ulayat (beschikkingsrecht).

Dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 18B(1): “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yag bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang”; pasal 18B(2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. UU Agraria 1960:5 pasal 3: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Alasan ketiga, mengenai hak-hak asli suku-suku pribumi di Tanah Papua. Dalam pasal 43(2) UU Otsus 2001:21 hak-hak itu diberi nama “hak-hak masyarakat adat Papua” yang terdiri atas (1) hak ulayat MHA dan (2) hak perorangan warga MHA. Rumusan pasal ini mengandaikan bahwa di provinsi-provinsi di Tanah Papua: 1) ada konsep hak ulayat; 2) ada konsep masyarakat hukum adat (MHA); 3) tidak ada hak perorangan lain di luar MHA. Rumusan pasal 43(2) dengan sekali tepuk telah memaku realitas setempat pada suatu situasi tanpa pilihan. Isi pasal ini perlu dipertanyakan dg keras karena kehilangan landasan kultural Papua. Padahal semestinya hak-hak orang Papua dirumuskan sesuai realitas hidup suku-suku pribumi Papua sendiri, bukan mengacu pada undang-undang nasional yang uniform (berlaku sama di mana-mana). Dengan kata lain, pasal 43(2) juncto pasal 43(1) Otsus 2001:21 melawan identitas budaya serta hak-hak atas sumber ekonomi tradisional (dan ancestral domain) suku-suku pribumi Papua sebagaimana dijamin oleh pasal 28I(3). Pelanggaran hak-hak konstitusional ini bisa dibawa ke mahkamah konstitusi. Sayangnya, apakah orang asli Papua mempunyai kekuatan berarti untuk mem-PTUN-kan Perdasus 2008:23 tersebut? Bisa juga tidak, tidak juga bisa. Mengapa? Bab XA UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28I(3): “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” dan UU Otsus 2001:21 pasal 43(2): “Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat MHA dan hak perorangan warga MHA yang bersangkutan”.

Berpijak pada persandingan-persandingan di atas, maka apa yang sekiranya bisa dilakukan oleh pemerintah setempat untuk melindungi kepentingan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat (orang asli) Papua dalam konteks pemberlakuan kekhususan di era otonomi daerah ini? Pemerintah bisa saja bertindak mengabaikan politik hukum nasional maupun regional yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan berani ambil risiko dari pilihan tersebut. Alih-alih berkuasa dengan tangan besi, pemerintah lebih baik memfasilitasi kelompok-kelompok progresif agar berinisiatif mengusulkan rancangan peraturan daerah khusus yang lebih mewakili aspirasi rakyat pribumi (orang asli) setempat di Tanah Papua. Selanjutnya sikap mana yang perlu diambil oleh Mayoritas Rakyat (orang asli) Papua? Bersikap aktif dan kritislah terhadap aturan hukum terutama yang terkait langsung dengan peri-kehidupan dan masa depan orang pribumi Papua. Tinggalkan kebiasaan bersikap pasif dan berserah diri dalam proses pembentukan hukum. Jangan tinggal diam dan menyerahkan perubahan politik hukum agraria itu kepada pemerintah (entah di pusat, entah di daerah). Lakukan sejumlah hal guna memperbaiki cara berpikir dan bersikap terhadap hukum nasional dan hukum-hukum adat Papua sedemikian rupa sehingga Rakyat pribumi Papua sendiri mengendalikan arah perubahan politik hukum yang sejalan dan mendukung harapan-harapan memperoleh kehidupan yang lebih manusiawi, berkeadilan dan berharga diri. Sangat layak apabila orang pribumi Papua sendiri mendefinisikan hak-hak aslinya atas tanah baik dalam arti sumber ekonomi alamiah maupun dalam arti wilayah perpangkalan budaya (ancestral domain). Untuk mewujudkan perubahan tidak ada jalan lain kecuali kuasai sebanyak mungkin kursi-kursi dalam dewan perwakilan rakyat (DPR) Papua oleh orang-orang yang sungguh paham dan bersedia memperjuangkan keselamatan masa depan Rakyat pribumi Papua. Jangan hanya sibuk berebut jabatan dalam pemerintahan daerah namun kendalikan dan awasi jalannya pemerintahan di provinsi-provinsi di Tanah Papua ini agar tidak menyimpang dari apa yang sudah ditetapkan oleh Rakyat dalam Perdasus dan Perdasi sesuai amanat UU Otsus 2001:21.

Penulis adalah Koordinator JASOIL Tanah Papua
Sumber : JASOIL Tanah Papua

PITOO NEWS Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.